PERTEMUAN
DUA HATI
Oleh
: Nh. Dini
Pengarang : Nh. Dini
Penerbit : PT Gramedia Jakarta
Tahun Terbit : 1986
Tebal :
85 Halaman
Unsur
–Unsur Intrinsik
1)
Tema : Pengorbanan
seorang guru
2)
Pengarang : Nh.Dini
3)
Latar
a)
Latar tempat : Purwodadi,Semarang,rumah dan sekolah.
b)
Latar
waktu : Pagi,siang,sore dan malam hari.
c)
Latar
suasana : Sedih,senang dan gelisah.
4)
Alur : Alur maju
5)
Tokoh
a)
Tokoh
utama : Bu Suci dan Waskito.
b)
Tokoh
pembantu : Suami Bu Suci,orangtua
Waskito anak Bu Suci,Kepala sekolah,guru-guru SD.
6)
Watak
Tokoh
a)
Bu Suci : Baik,ramah,sopan
dan tangung jawab
b)
Waskito :
Nakal,nekat namun sebenarnya baik
c)
Kepala
sekolah : Baik
d)
Anak Bu
Suci : Baik
e)
Guru SD : Baik
f)
Orangtua
Waskito : Kurang perhatian dengan anak
7)
Amanat : Pengorbanan seorang guru itu tulus
dan ikhlas. Dia tidak membeda-bedakan muridnya. Tujuannya hanya satu,yaitu
membuat murid-muridnya cerdas. Dia adalah seorang pahlawan
tanpa mengharapkan imbalan.
8)
Sudut
pandang : Sudut pandang orang
ketiga yang serbatahu ( pengarang )
Ringkasan
Novel : Pertemuan Dua Hati
Bu Suci adalah
seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai guru SD di sebuah kota kecil,
yaitu Purwodadi. Sebenarnya dia dulu tidak bercita-cita menjadi guru, namun karena kehendak orangtuanya, maka dia harus
memilih profesi guru. Dia sebenarnya ingin menjadi seorang sekretaris. Namun
demikian, dia menjadi seorang guru yang baik, yang disamping tekun dan pintar
mengajar, dia juga mementingkan unsur pendidikan bagi murid-muridnya berguna bagi bangsa dan negara. Hal itu dilakukan dengan
jalan mengadakan pendekatan dari hati ke hati dengan muridnya.
Pada suatu saat dia
harus pindah ke Semarang. Hal itu terjadi karena suaminya dipindahtugaskan oleh
perusahaannya. Suaminya seorang karyawan di sebuah perusahaan angkutan.
Perpindahan keluarga mereka ke Semarang dilakukan secara bertahap. Suaminya
terlebih dahulu mencari kontrakan di Semarang. Di samping itu, Bu Suci harus
menyelesaikan tugasnya mengajar sampai ajaran baru, sambil mengajukan surat
permohonan pindah pindah tugas kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Mereka pindah ke
Semarang dengan keluarga sebanyak 5 orang, yaitu Bu Suci, suaminya dan tiga
orang anaknya. Hari pertama di Semarang Bu Suci harus mengatur dan menata
seluruh perabotan rumah tangga. Namun sebagai ibu dan istri yang baik, dia
tidak berkeluh kesah. Di tempat tinggalnya ada adat baru, yaitu tingkat
kehormatan keluarga ditentukan oleh banyaknya harta yang dipunyai. Namun Bu
Suci tidak memperdulikan itu.
Satu hal yang
kurang menyenangkan Bu Suci, ketika dia harus menganggur sementara sambil
menunggu surat keputusan tugas dari Departemen. Tapi rupanya penantian Bu Suci
tidak sia-sia, karena pada suatu hari dia mendapat surat
dari Departemen. Dalam surat itu, Bu Suci diminta untuk segera untuk segera
mengajar karena di sekolah tersebut ada seorang guru yang kecelakaan dan
kemungkinan besar mengalami gagar otak. Hari itu mulailah Bu Suci mengajar di
sekolah tersebut sebagai guru honorer.
Di sekolah baru itu, Bu Suci memegang satu
kelas yang di dalam kelas itu dia menemukan kejanggalan sikap dari salah
seorang muridnya yang bernama Waskito. Waskito sering membolos ke sekolah dan
jika masuk dia sering membuat keonaran dengan jalan memuat suasana kelas gaduh
dan memukul temannya. Waskito merupakan tanggung jawab Bu Suci, karena Waskito
sebagai anggota kelas yang Bu Suci pegang. Bersama dengan timbulnya permasalahan
Waskito, anak Bu Suci yang nomor dua menderita penyakit epilepsi. Terlalu berat
masalah yang dihadapinya, namun dia berjanji untuk menyelesaikan masalah itu
dengan baik.
Langkah pertama
yang ditempuh Bu Suci adalah mencari tahu latar belakang kenakalan Waskito. Bu
Suci sering mengadakan konsultasi dengan Kepala Sekolah, guru-guru serta pendekatan dengan kakek dan nenek Waskito. Untuk
mendekati orangtua Waskito tidak mungkin, karena mereka adalah orang yang hanya
mementingkan materi diatas segalanya. Menurut informasi yang diperoleh dari
kakek dan nenek Waskito, sebenarnya Waskito tidak nakal. Memang keluarga
Waskito kaya raya, namun dia kurang memperoleh perhatian dan kasih sayang. dia
tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Itu semua karena orangtuanya
yang terlalu sibuk dengan profesi mereka dan sering memanjakan Waskito dengan
membelikan mainan yang mahal.
Setelah mengetahui latar belakang Waskito maka
Bu Suci berjanji pada dirinya untuk membantu semampunya. Namun sebelum dia
melangkah ke arah situ, kembali anaknya yang harus menjalani perawatan secara
intensif di rumah sakit. Ketika pada hari keempat ada anak baru, dialah Waskito
yang baru masuk setelah sepuluh hari membolos. Disekolah u Suci mulai
melibatkan Waskito dalam kegiatan kelas.
Secara halus, Bu Suci sering minta tolonh Waskito untuk menghapus papan
tulis, mengumpulkan buku pekerjaan teman-temannya, mengambil buku
kerja di kantor guru sampai ketrampilan. Mulai saat itu perilaku Waskito mulai
membaik. Namun pada suatu hari, kembali sekolah dibuat geger oeh Waskito. Pada
saat istirahat Waskito mengamuk dengan memegang gunting serta menodongkannya
pada temannya.
Peristiwa Waskito menggoncangkan kepercayaan
Kepala Sekolah terhadap Waskito dan mengusulkan agar Waskito dikeluarkan. Hari
itu juga Kepala Sekolah mengadakan rapat dengan guru-guru. Dalam rapat itu, para guru yang menginginkan Waskito
dikeluarkan dari sekolah lebih banyak daripada guru yang mendukung Bu Suci
untuk mempertahankan Waskito. Akhirnya Bu Suci meminta untuk diberi waktu
selama satu bulan lagi. Jika selama satu bulan Waskito tetap nakal, maka Bu
Suci akan menyerah dan Waskito pun boleh dikeluarkan dari sekolah serta Bu Suci
pun akan keluar, berhenti mengajar di kelas itu. Kepala Sekolah sebagai guru
PMP pun menyetujui permintaan Bu Suci. Setelah rapat, Bu Suci kembali ke kelas.
Dia menukar tempat duduk Waskito yang di belakang dengan Karsih yang duduk di
depan meja guru.
Besoknya ketika Bu Suci masuk kelas, dia sangat
senang karena Waskito memenuhi permintaannya untuk duduk di depan meja guru. Bu
Suci melibatkan Waskito dalam kegiatan kelas. Pada saat jam istirahat, Bu Suci
lebih sering berada di kelas. Dia ingin merasa murid-muridnya selalu diawasi dan diperhatikan sehingga kedisiplinan
muridnya pun bertambah. Dalam kegiatan apa pun dia melibatkan Waskito. Bahkan,
sering juga Bu Suci meminta bantuan Waskito untuk mengantarkan makanan anaknya
yang sakit dan kebetulan sekolah di situ juga. Dan khusus untuk Waskito, Bu
Suci mengadakan pendekatan dengan cara menghubungkan masalah Waskito dengan
anaknya itu. Dia merasa ada hubungan antara Waskito dengan anaknya yang kedua.
Pendekatan lain yang Bu Suci lakukan adalah
mengadakan pembicaraan santai dengan Waskito tentang keluarganya serta
kegiatannya di rumah. Waskito mulai membicarakan keadaannya yang serba ada
dalam materi, tapi sangat kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya.
Hingga pada suatu hari pada akhir pembicaraan, Bu Suci berjanji pada Waskito,
jika Waskito naik kelas dia akam mengajaknya berlibur ke Purwodadi. Pada siang
hari setelah berunding dengan bude Waskito, Bu Suci membawa Waskito bermain ke
rumahnya. Disana, Waskito sangat senang dan penuh kasih sayang. Dia bermain
kucing dengan anak Bu Suci, walaupun pada mulanya dia merasa enggan dengan anak
Bu Suci. Waskito sering pula membantu suami Bu Suci yang sedang membuat rak
buku. Mulai saat itu keadaan Waskito mulai membaik.
Bu Suci menceritakan perubahan Waskito terhadap
Kepala Sekolah dan guru-guru yang lain sebagai laporan bahwa Waskito sebenarnya
anak yang baik. Saking senangnya itulah dia agak kendor untuk mengawasi
Waskito. Hingga pada suatu hari, seorang siswa melaporkan bahwa Waskito
mencabuti tanaman percobaan dalam pelajaran pelajaran ketrampilan milik
temannya. Di kelasnya Bu Suci melihat kaleng yang penyok dan ringsek karena
dibanting dan diinjak. Dia tidak melihat Waskito dalam kelas dan berpesan pada
muridnya tidak menceritakan atau menyebarkan perbuatan Waskito sampai Waskito
kembali ke kelas. Ketika bel masuk dia melihat Waskito duduk menyendiri di
pinggir selokan. Dengan rasa keibuan dia menarik Waskito untuk berdiri dan
mengajaknya ke kantor.
Di kantor, Bu Suci memberikan nasehat-nasehat kepada Waskito dan rupanya nasehat itu membuat Waskito
berubah. Hari-hari selanjutnya Waskito semakin baik. Hubungan antara Bu Suci
dengan Waskito juga lebih terbuka di dalam berunding dan berbincang baik
berduaan maupun di hadapan orang banyak. Pada rapotan berikutnya, raport
Waskito berisi angka-angka normal. Untuk itu Bu Suci menghadiahi
Waskito dengan mengajaknya berlibur ke Purwodadi. Disana dia bisa memancing
sepuasnya dengan suami Bu Suci. Usaha Bu Suci ternyata tidak sia-sia. Waskito tampak mulai tekun. Akhirnya, dia menjadi seorang murid
yang mempunai kemampuan menonjol baik di dalam kelas maupun sekolah. Dia pun
juga naik kelas. Bu Suci senang sekali dengan hal itu.
Budenya datang ke sekolah. Dia mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Kepala Sekolah, para guru dan Bu Suci. Meskipun ucapan
terimakasih itu basa-basi tapi sudah menyenangkan hati para guru.
Karena tidak jarang para guru itu mendapat keluhan dan cacian dari wali murid
jika ada murid yang gagal. Padahal jika murid itu berhasil, paling-paling wali muridnya menganggap hal itu wajar karena itu memang
tugas guru. Memang itulah tugas guru, seorang pengajar dan pendidik. Seorang
pahlawan yang tidak pernah mengharapkan imbalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar