Jumat, 01 November 2013

Analisis Novel

PERTEMUAN DUA HATI

Oleh : Nh. Dini

Pengarang       :      Nh. Dini
Penerbit          :      PT Gramedia Jakarta
Tahun Terbit :      1986
Tebal                :      85 Halaman
Unsur –Unsur Intrinsik

1)                 Tema                               :           Pengorbanan seorang guru
2)               Pengarang                     :                       Nh.Dini
3)                Latar                  
a)    Latar tempat    : Purwodadi,Semarang,rumah dan sekolah.
b)   Latar waktu     : Pagi,siang,sore dan malam hari.
c)    Latar suasana  : Sedih,senang dan gelisah.
4)               Alur                                 : Alur maju
5)               Tokoh
a)    Tokoh utama   : Bu Suci dan Waskito.
b)   Tokoh pembantu :  Suami Bu Suci,orangtua Waskito anak Bu Suci,Kepala sekolah,guru-guru SD.
6)               Watak Tokoh                                                                                    
a)    Bu Suci                           : Baik,ramah,sopan dan tangung jawab
b)   Waskito                                    : Nakal,nekat namun sebenarnya baik
c)    Kepala sekolah           : Baik
d)   Anak Bu Suci               : Baik
e)    Guru SD                                    : Baik
f)     Orangtua Waskito    : Kurang perhatian dengan anak
7)                Amanat                                      : Pengorbanan seorang guru itu tulus dan ikhlas. Dia tidak membeda-bedakan muridnya. Tujuannya hanya satu,yaitu membuat murid-muridnya cerdas. Dia adalah seorang pahlawan tanpa mengharapkan imbalan.
8)               Sudut pandang           : Sudut pandang orang ketiga yang serbatahu ( pengarang )
Ringkasan Novel : Pertemuan Dua Hati

            Bu Suci adalah seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai guru SD di sebuah kota kecil, yaitu Purwodadi. Sebenarnya dia dulu tidak bercita-cita menjadi guru, namun karena kehendak orangtuanya, maka dia harus memilih profesi guru. Dia sebenarnya ingin menjadi seorang sekretaris. Namun demikian, dia menjadi seorang guru yang baik, yang disamping tekun dan pintar mengajar, dia juga mementingkan unsur pendidikan bagi murid-muridnya berguna bagi bangsa dan negara. Hal itu dilakukan dengan jalan mengadakan pendekatan dari hati ke hati dengan muridnya.
            Pada suatu saat dia harus pindah ke Semarang. Hal itu terjadi karena suaminya dipindahtugaskan oleh perusahaannya. Suaminya seorang karyawan di sebuah perusahaan angkutan. Perpindahan keluarga mereka ke Semarang dilakukan secara bertahap. Suaminya terlebih dahulu mencari kontrakan di Semarang. Di samping itu, Bu Suci harus menyelesaikan tugasnya mengajar sampai ajaran baru, sambil mengajukan surat permohonan pindah pindah tugas kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
            Mereka pindah ke Semarang dengan keluarga sebanyak 5 orang, yaitu Bu Suci, suaminya dan tiga orang anaknya. Hari pertama di Semarang Bu Suci harus mengatur dan menata seluruh perabotan rumah tangga. Namun sebagai ibu dan istri yang baik, dia tidak berkeluh kesah. Di tempat tinggalnya ada adat baru, yaitu tingkat kehormatan keluarga ditentukan oleh banyaknya harta yang dipunyai. Namun Bu Suci tidak memperdulikan itu.
            Satu hal yang kurang menyenangkan Bu Suci, ketika dia harus menganggur sementara sambil menunggu surat keputusan tugas dari Departemen. Tapi rupanya penantian Bu Suci tidak sia-sia, karena pada suatu hari dia mendapat surat dari Departemen. Dalam surat itu, Bu Suci diminta untuk segera untuk segera mengajar karena di sekolah tersebut ada seorang guru yang kecelakaan dan kemungkinan besar mengalami gagar otak. Hari itu mulailah Bu Suci mengajar di sekolah tersebut sebagai guru honorer. 
Di sekolah baru itu, Bu Suci memegang satu kelas yang di dalam kelas itu dia menemukan kejanggalan sikap dari salah seorang muridnya yang bernama Waskito. Waskito sering membolos ke sekolah dan jika masuk dia sering membuat keonaran dengan jalan memuat suasana kelas gaduh dan memukul temannya. Waskito merupakan tanggung jawab Bu Suci, karena Waskito sebagai anggota kelas yang Bu Suci pegang. Bersama dengan timbulnya permasalahan Waskito, anak Bu Suci yang nomor dua menderita penyakit epilepsi. Terlalu berat masalah yang dihadapinya, namun dia berjanji untuk menyelesaikan masalah itu dengan baik.
            Langkah pertama yang ditempuh Bu Suci adalah mencari tahu latar belakang kenakalan Waskito. Bu Suci sering mengadakan konsultasi dengan Kepala Sekolah, guru-guru serta pendekatan dengan kakek dan nenek Waskito. Untuk mendekati orangtua Waskito tidak mungkin, karena mereka adalah orang yang hanya mementingkan materi diatas segalanya. Menurut informasi yang diperoleh dari kakek dan nenek Waskito, sebenarnya Waskito tidak nakal. Memang keluarga Waskito kaya raya, namun dia kurang memperoleh perhatian dan kasih sayang. dia tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Itu semua karena orangtuanya yang terlalu sibuk dengan profesi mereka dan sering memanjakan Waskito dengan membelikan mainan yang mahal.
Setelah mengetahui latar belakang Waskito maka Bu Suci berjanji pada dirinya untuk membantu semampunya. Namun sebelum dia melangkah ke arah situ, kembali anaknya yang harus menjalani perawatan secara intensif di rumah sakit. Ketika pada hari keempat ada anak baru, dialah Waskito yang baru masuk setelah sepuluh hari membolos. Disekolah u Suci mulai melibatkan Waskito dalam kegiatan kelas.  Secara halus, Bu Suci sering minta tolonh Waskito untuk menghapus papan tulis, mengumpulkan buku pekerjaan teman-temannya, mengambil buku kerja di kantor guru sampai ketrampilan. Mulai saat itu perilaku Waskito mulai membaik. Namun pada suatu hari, kembali sekolah dibuat geger oeh Waskito. Pada saat istirahat Waskito mengamuk dengan memegang gunting serta menodongkannya pada temannya.
Peristiwa Waskito menggoncangkan kepercayaan Kepala Sekolah terhadap Waskito dan mengusulkan agar Waskito dikeluarkan. Hari itu juga Kepala Sekolah mengadakan rapat dengan guru-guru. Dalam rapat itu, para guru yang menginginkan Waskito dikeluarkan dari sekolah lebih banyak daripada guru yang mendukung Bu Suci untuk mempertahankan Waskito. Akhirnya Bu Suci meminta untuk diberi waktu selama satu bulan lagi. Jika selama satu bulan Waskito tetap nakal, maka Bu Suci akan menyerah dan Waskito pun boleh dikeluarkan dari sekolah serta Bu Suci pun akan keluar, berhenti mengajar di kelas itu. Kepala Sekolah sebagai guru PMP pun menyetujui permintaan Bu Suci. Setelah rapat, Bu Suci kembali ke kelas. Dia menukar tempat duduk Waskito yang di belakang dengan Karsih yang duduk di depan meja guru.
Besoknya ketika Bu Suci masuk kelas, dia sangat senang karena Waskito memenuhi permintaannya untuk duduk di depan meja guru. Bu Suci melibatkan Waskito dalam kegiatan kelas. Pada saat jam istirahat, Bu Suci lebih sering berada di kelas. Dia ingin merasa murid-muridnya selalu diawasi dan diperhatikan sehingga kedisiplinan muridnya pun bertambah. Dalam kegiatan apa pun dia melibatkan Waskito. Bahkan, sering juga Bu Suci meminta bantuan Waskito untuk mengantarkan makanan anaknya yang sakit dan kebetulan sekolah di situ juga. Dan khusus untuk Waskito, Bu Suci mengadakan pendekatan dengan cara menghubungkan masalah Waskito dengan anaknya itu. Dia merasa ada hubungan antara Waskito dengan anaknya yang kedua.
Pendekatan lain yang Bu Suci lakukan adalah mengadakan pembicaraan santai dengan Waskito tentang keluarganya serta kegiatannya di rumah. Waskito mulai membicarakan keadaannya yang serba ada dalam materi, tapi sangat kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Hingga pada suatu hari pada akhir pembicaraan, Bu Suci berjanji pada Waskito, jika Waskito naik kelas dia akam mengajaknya berlibur ke Purwodadi. Pada siang hari setelah berunding dengan bude Waskito, Bu Suci membawa Waskito bermain ke rumahnya. Disana, Waskito sangat senang dan penuh kasih sayang. Dia bermain kucing dengan anak Bu Suci, walaupun pada mulanya dia merasa enggan dengan anak Bu Suci. Waskito sering pula membantu suami Bu Suci yang sedang membuat rak buku. Mulai saat itu keadaan Waskito mulai membaik.
Bu Suci menceritakan perubahan Waskito terhadap Kepala Sekolah dan guru-guru yang lain sebagai laporan bahwa Waskito sebenarnya anak yang baik. Saking senangnya itulah dia agak kendor untuk mengawasi Waskito. Hingga pada suatu hari, seorang siswa melaporkan bahwa Waskito mencabuti tanaman percobaan dalam pelajaran pelajaran ketrampilan milik temannya. Di kelasnya Bu Suci melihat kaleng yang penyok dan ringsek karena dibanting dan diinjak. Dia tidak melihat Waskito dalam kelas dan berpesan pada muridnya tidak menceritakan atau menyebarkan perbuatan Waskito sampai Waskito kembali ke kelas. Ketika bel masuk dia melihat Waskito duduk menyendiri di pinggir selokan. Dengan rasa keibuan dia menarik Waskito untuk berdiri dan mengajaknya ke kantor.
Di kantor, Bu Suci memberikan nasehat-nasehat kepada Waskito dan rupanya nasehat itu membuat Waskito berubah. Hari-hari selanjutnya Waskito semakin baik. Hubungan antara Bu Suci dengan Waskito juga lebih terbuka di dalam berunding dan berbincang baik berduaan maupun di hadapan orang banyak. Pada rapotan berikutnya, raport Waskito berisi angka-angka normal. Untuk itu Bu Suci menghadiahi Waskito dengan mengajaknya berlibur ke Purwodadi. Disana dia bisa memancing sepuasnya dengan suami Bu Suci. Usaha Bu Suci ternyata tidak sia-sia. Waskito tampak mulai tekun. Akhirnya, dia menjadi seorang murid yang mempunai kemampuan menonjol baik di dalam kelas maupun sekolah. Dia pun juga naik kelas. Bu Suci senang sekali dengan hal itu.
Budenya datang ke sekolah. Dia mengucapkan terimakasih kepada Bapak Kepala Sekolah, para guru dan Bu Suci. Meskipun ucapan terimakasih itu basa-basi tapi sudah menyenangkan hati para guru. Karena tidak jarang para guru itu mendapat keluhan dan cacian dari wali murid jika ada murid yang gagal. Padahal jika murid itu berhasil, paling-paling wali muridnya menganggap hal itu wajar karena itu memang tugas guru. Memang itulah tugas guru, seorang pengajar dan pendidik. Seorang pahlawan yang tidak pernah mengharapkan imbalan.          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar